Malaysia, boleh jadi akan berbeda
dari sekarang ini tanpa aksi heroisme “kajagauan” (jagoan/keberanian) urang
(orang) Banjar yang bermukim di sana. Sejarah Malaysia mencatat, “kajagauan”
urang Banjar telah membelokkan sejarah dan arah politik negeri jiran tersebut.
1940-an, Jepang menyerah kalah dengan tentara sekutu. Meski
begitu, wilayah Nusantara tak lepas dari ancaman penguasaan Negara dan pihak
lain. Indonesia, dibayangi Belanda yang membonceng tentara sekutu. Malaysia, menghadapi
ancaman Cina dengan paham komunisnya.
Etnis Melayu yang mendiami daratan Malaysia bergolak
menghadapi ekspansi komunis yang memiliki faham sangat bertolak belakang dengan
kepercayaan dan agama mereka, yaitu Islam. Banyak kekerasan dan kekejaman dilakukan
kaum komunis terhadap etnis Melayu yang tidak sepaham.
Namun satu hal yang tidak diperhitungkan oleh kaum komunis
Cina. Ketika mulai berani memberlakukan pajak dan memasuki ranah agama, Jihad
diusung urang Banjar yang mendiami wilayah Sungai Manik dan Batu Pahat, Perak,
mengeliminasi kaum komunis hingga keakar-akarnya. Dan, sejarah perjalanan
politik di tanah Melayu itupun kini berlangsung berbeda.
“Hingga hari ini, tak ada orang Cina yang berani memasuki
Sungai Manik dan Batu Pahat,” ujar Arshad, lelaki warga Negara Malaysia
keturunan Banjar asal Perak yang kini tinggal di Kuala Lumpur.
Budaya Madam
Etnis Banjar merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah
Kalimantan Selatan saat ini. Pada etnis Banjar dikenal budaya “madam” atau
migrasi. Implementasi budaya tersebut membuat penyebaran etnis Banjar hampir
merata diseluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatera Barat dan bahkan hingga
kenegeri jiran seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura serta beberapa
Negara lain di Asia, Afrika dan Timur Tengah.
Menurut pengamat sosial budaya dari Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin Taufik Arbain, budaya
“madam” terjadi karena beberapa faktor. Faktor peperangan antar bangsawan
istana yang melibatkan masyarakat, peperangan dengan Belanda sebagai penjajah
yang berkuasa saat itu, tekanan pajak dari kesultanan atas tekanan Belanda dan
kemiskinan serta bencana alam. Dimana bencana alam menyebabkan kebanjiran atau
sebaliknya, kekeringan, hingga mengakibatkan lahan pertanian rusak.
“Faktor-faktor tersebut didukung oleh kemampuan urang
Nagara, subetnis Banjar dalam membuat perahu sehingga arus migrasi relatif
mudah dilakukan. Selain itu, urang Banjar memiliki kemampuan yang tinggi dan
mahir dalam mengolah lahan pertanian, perkebunan serta berdagang. Dimana etos
kerja tersebut sangat mendukung kelangsungan hidup para imigran Banjar ditanah
rantau,” ujarnya.
Wilayah “pamadaman” (tempat migrasi) urang Banjar tempo
doeloe adalah Pulau Andalas, Sumatera. Tercatat, tiga gelombang besar migrasi
urang Banjar ke Sumatra pernah terjadi sejak 1780 - 1905 yang merupakan batu
loncatan menuju Malaysia dan Singapura.
1780, para pengikut Pangeran Amir yang mengalami kekalahan
pada perang saudara dengan Pangeran Tahmidullah, melakukan migrasi
besar-besaran ke Sumatera. Sebagai musuh politik kesultanan Banjar saat itu,
mereka terpaksa “madam” ketanah seberang.
Gelombang kedua migrasi besar-besaran etnis Banjar ke
Sumatera terjadi pada 1862. Kala itu, pengikut Pangeran Antasari yang terdesak
oleh pasukan Belanda yang telah menguasai kota-kota besar diwilayah kesultanan
Banjar, terpaksa harus bermigrasi. Selanjutnya, pada 1905 etnis Banjar kembali
“madam” ke Sumatera pasca gugurnya Sultan Muhammad Seman.
“Etnis Banjar, khususnya subetnis Amandit atau yang sekarang
dikenal sebagai urang Kandangan dikenal memiliki sikap keras, tegas dan
memegang teguh prinsip. Kekerasan sikap itu membawa mereka bermigrasi ketika
daerah asal dikuasai oleh pihak lain. Etnis Banjar sangat anti pati terhadap
penguasaan pihak lain dan lebih memilih “madam” daripada berada dibawah tekanan
dan kekuasaan,” kata Taufik.
Tak banyak yang tahu, sekitar abad ke-18 Belanda hanya
mempercayakan pengerjaan pembukaan lahan perkebunan tembakau di Sumatera pada
etnis Banjar. Kehebatan dan kepiawaian etnis Banjar dalam merambah hutan secara
tidak langsung mendapat pengakuan dari Belanda.
Etnis Banjar yang tidak mau berada di bawah kekuasaan pihak
lain, lebih memilih menjadi pekerja lepas. Usai pembukaan lahan tembakau
tersebut sebagian pulang kedaerah asal dan sebagian besar memilih menetap serta
melanjutkan migrasi hingga ke Singapura dan Malaysia.
Loncatan gelombang migrasi etnis Banjar menyebar ke Kedah,
Perak, Selangor, Johor, Sabah dan Serawak. Mereka menempati daerah-daerah
Kerian, Sungai Manik, Bagan Datoh, Sabak Bernam, Tanjung Karang, Batu Pahat,
Sandakan, Tenom, Keningau, Tawau, Kuching dan Sri Aman. Terbanyak, etnis Banjar
dari berbagai subetnis mendiami wilayah Perak.
Alim dan “Jagau”
Etnis Banjar yang “madam” memiliki ciri khas yang tidak
ditemui pada etnis lain. Etnis Banjar memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi
dengan penduduk lokal sehingga nyaris tidak pernah terjadi konflik. Bilapun ada
konflik hanya dalam skala kecil yang biasanya disebabkan oleh faktor proteksi
dan sikap bertahan hidup dari etnis Banjar yang sangat kuat.
“Etnis Banjar terkenal sebagai penganut Islam taat. Hal
tersebut menjadi ciri khas tersendiri bagi mereka yang melakukan migrasi dimana
selalu mendirikan langgar atau mushala dan mesjid disetiap daerah yang
didatangi. Etnis Banjar yang mendiami wilayah baru dalam jumlah besar juga akan
mendirikan sekolah pendidikan agama,” Taufik menjelaskan.
Keteguhan menjalankan syariat Islam, membuat etnis Banjar
dapat dengan mudah berbaur dengan etnis Melayu yang mendiami Malaysia. Kesamaan
agama dan kepercayaan membuat kedua etnis berbeda asal itu dapat hidup
berdampingan dan saling melengkapi sehingga batasan etnis menjadi kabur dan
nyaris tak ada.
Ajaran Islam yang tertanam kuat melahirkan tokoh-tokoh agama
dan alim ulama serta guru besar keagamaan dari etnis Banjar yang disegani serta
dihormati baik di wilayah Sumatera maupun Malaysia.
“Etnis Banjar di Malaysia bukanlah pendatang. Pada masa itu
tidak ada Malaysia atau Indonesia yang ada adalah Nusantara. Terlebih lagi,
Banjar dan penduduk asli Malaysia merupakan satu rumpun yaitu Melayu. Karena
itulah, etnis Banjar di Malaysia bukan sebagai pendatang tetapi orang Melayu
yang kembali ketanah mereka untuk mencari penghidupan lebih baik,” ujar Samad,
warga Malaysia keturunan Banjar yang saat ini berdiam di Masai, Pasir Gudang,
Johor.
Etnis Banjar menganut konsep “bubuhan” atau kekerabatan yang
muncul dari sikap solidaritas yang sangat tinggi. Hal tersebut tercermin jelas
pada peribahasa Banjar seperti “samuak saliur” (artinya kurang lebih sama
dengan senasib sepenanggungan) dan “makanan dimuntung gin diluak gasan kawan”
(makanan dimulutpun diberikan untuk teman).
Konsep “bubuhan” yang dipegang erat pada awal migrasi etnis
Banjar ke Malaysia hingga 1960-an membuat mereka membentuk kelompok-kelompok
penduduk yang cenderung tertutup dari etnis lokal. Meski begitu, konsep
“bubuhan” menumbuhkan solidaritas dan kesetiakawanan tingkat tinggi yang
membuat eksistensi etnis Banjar diperhitungkan diperantauan.
Eksistensi etnis Banjar diperantauan semakin kuat dengan
adanya budaya “belati” atau kebiasaan membawa senjata tajam. Meski bukan
pembuat onar, tetapi etnis Banjar memiliki sikap protektif yang tinggi baik
terhadap diri sendiri, keluarga dan “bubuhan”. Hal tersebut menyebabkan mereka
tak segan-segan berkonfrontasi dengan etnis lain, untuk hal yang bagi etnis
lain mungkin dipandang biasa.
Seperti misalnya menggoda gadis dari etnis Banjar, maka bisa
berakibat fatal yang berujung pada perkelahian. Terlihat aneh bagi etnis lain
tetapi hal itu merupakan bentuk mempertahankan harga diri dan pembelaan
terhadap “bubuhan” bagi etnis Banjar.
Terlebih bila bersinggungan dengan hal yang bersifat
prinsip, harga diri dan agama. Belati dan parang tak segan bicara bila ada
etnis lain yang masuk dan mencampuri ranah tersebut.
“Urang Banjar di Malaysia dikenal sebagai etnis yang
pemberani dan “cepat panas”. Bila ada orang Malaysia yang membawa senjata tajam
dapat dipastikan dia dari etnis Banjar” kata Arshad.
Ketidakpastian kehidupan ditanah rantau, membuat etnis
Banjar yang hendak “madam” sering membekali diri dengan berbagai ilmu berkelahi
dan kesaktian – selain ilmu agama yang kuat. Hingga memunculkan istilah “jangan
babaju salambar mun handak madam”. Artinya kurang lebih harus memiliki bekal (kemampuan
untuk bertahan hidup) yang cukup bila hendak merantau.
“Kajagauan” dan “budaya belati” pada etnis Banjar
diperantauan didukung oleh kemampuan yang tinggi dalam hal membuat senjata.
Itulah mengapa, selain bertani dan berkebun, kebanyakan etnis Banjar
diperantauan membuka usaha pembuatan senjata atau berprofesi sebagai pandai
besi. Karena itulah, selain terkenal melahirkan tokoh agama dan ulama besar,
urang Banjar di Malaysia juga dikenal sebagai etnis “jagau” atau jagoan.
Mengukir Sejarah
Sikap keras, tidak mau berada di bawah penguasaan pihak
lain, kekerabatan yang tinggi dan kuatnya ajaran Islam yang dianut dibuktikan
etnis Banjar di Malaysia pada peristiwa berdarah di Sungai Manik, Perak,
sekitar 1940, ketika paham komunis mencoba mencengkram negeri tersebut.
Disaat etnis Melayu sebagai penduduk lokal tidak berdaya,
etnis Banjar dengan konsep “bubuhan” dan fi sabilillah
memporak-porandakan pertahanan kaum komunis Cina. Membuat paham tersebut tak
mampu tumbuh dan berkembang di Malaysia. Dengan hanya bersenjatakan “parang
bungkul”, senjata khas etnis Banjar, “bubuhan urang Banjar” membumi-hanguskan
pertahanan tentara Cina saat itu hingga keakar-akarnya.
Pasca peristiwa yang membawa pengaruh besar terhadap
perpolitikan di Malaysia tersebut, eksistensi urang Banjar semakin kuat.
Meskipun pada perkembangannya memunculkan kekecewaan bagi para pelaku sejarah
karena tak satupun yang dicatat secara resmi oleh pemerintah Malaysia.
Peristiwa berdarah tersebut juga memunculkan opini dan
istilah baru bagi etnis Banjar di Malaysia oleh penduduk setempat. Dimana etnis
Banjar dipandang lebih kejam daripada Jepang.
Heroisme etnis Banjar di Malaysia bukan hanya sekali itu
terjadi. Selain peristiwa di Sungai Manik pada 1940, tercatat juga peristiwa
berdarah lainnya yang melibatkan etnis Banjar sebagai “bubuhan” dalam
mempertahankan prinsip dan sikap keras mereka serta syariat Islam. Peristiwa
yang sama juga terjadi pada 1960-an di Teluk Intan, Perak dan di Batu Pahat,
Johor pada 1969.
Seiring waktu, etnis Banjar di Malaysia kini mulai mengalami
perubahan gaya hidup. Mereka sudah mulai berbaur dengan etnis lain seiring
pesatnya pembangunan oleh pemerintah setempat. Perkawinan yang dahulunya hanya
dilakukan dalam lingkup “bubuhan” saat ini sudah tidak lagi berlaku. Banyak
dari etnis Banjar keturunan yang melakukan perkawinan dengan wanita atau pemuda
di luar “bubuhan”.
Hal tersebut disatu sisi membawa perubahan positif dimana
etnis Banjar kemudian banyak memiliki peran penting dalam kehidupan dan roda
pemerintahan di Malaysia. Namun disisi lain, hal itu membawa perubahan yang
cukup signifikan dalam budaya dan keseharian etnis Banjar.
Dimana
pada generasi muda Banjar Malaysia kini sudah banyak yang tidak mengenal dan
tidak bisa lagi melafalkan bahasa Banjar. Bahkan, banyak diantara mereka yang
merasa malu untuk berbicara dalam Bahasa Banjar.
Namun satu hal
yang membanggakan. Konsep “bubuhan” yang meskipun saat ini pelaksanaannya sudah
memudar, tetap tertanam kuat. Hal tersebut terlihat dengan adanya organisasi
Pertubuhan Banjar Malaysia, dimana kekerabatan dan kesetiakawanan sesama
keturuan urang Banjar tetap terjaga meski label mereka kini sebagai warga
negeri jiran.
(Adi/A)
Sumber : ANTARANEWS.com
Tiada ulasan:
Catat Ulasan